Cerita rakyat dari Jawa, diceritakan kembali oleh N. Santosa
Di tepi sebuah hutan, hidup sepasang suami isteri yang sangat miskin. Mereka beranak tujuh orang masih kecil-kecil. Untuk memenuhi keperluannya, si kakek mengambil kayu dalam hutan dan dijualnya ke desa. Akan hasilnya, jauh dari mencukupi. Keadaan mereka sangat sengsara. Badan kurus kering. Pakaian koyak-koyak.
Makin hari makin berat saja rasanya. Maka timbullah niat dari dari hati si kakek, akan membuang anak-anaknya ke tengah hutan.
Pada suatu malam, selagi anak-anaknya sudah tidur, maka ia berunding dengan isterinya. Katanya : “Mak, makin hari makin saya rasakan beratnya penghidupan kita ini. Hasil pendapatan menjual kayu tidak lagi mencukupi kebutuhan. Maka saya berpendapat, sebaiknya anak-anak kita dibuang saja di tengah hutan.” Sambil menangis, isterinya menjawab : “Jangan Pak, jangan anak-anak kita dibuang. Apa yang akan terjadi terhadap mereka, sedang di hutan banyak binatang buas.”
Bagaimanapun isterinya mencegah kehendak suaminya, si suami tetap pada pendiriannya, akan membuang anak-anaknya. Pembicaraan mereka terdengar olah anak yang bungsu, si Wuragil. Mendengar kata bapaknya, bahwa mereka akan dibuang, ia keluar rumah. Dikumpulkannya batu kecil-kecil sebanyak-banyaknya dan disimpan dalam kantong baju.
Pagi-pagi benar, anak-anak tersebut diajak oleh ayahnya masuk ke dalam hutan. Setiap langkah, si Wuragil menjatuhkan batu kecil. Serta sampai di tengah hutan, bapaknya berkata : “Tunggulah kamu di sini. Aku akan mencari mencari kayu. Jangan pergi-pergi sebelum aku datang kemari.”
Si Wuragil tahu akan maksud bapaknya. Setelah bapaknya tidak kelihatan, diajaknya kakak-kakaknya mengikuti di belakang. Ia berjalan, mengikuti batu-batu yang dijatuhkan pada waktu berangkat.
Baru saja bapaknya sampai di rumah, anak-anaknya sampai juga. Bapaknya terkejut melihat anak-anaknya pulang, hatinya jengkel bukan main.
Pada suatu hari, keadaan rumah tangga makin buruk. Hasil penjualan kayu, tidak cukup untuk membeli beras. Dibelikannya jagung sebanyak sembilan buah. Sampai di rumah jagung dibagi-bagikan, sebuah seorang. Si Wuragil tahu gelagat bapaknya yang bersungut-sungut. Jagung bagiannya tidak dimakan.
Esok paginya, mereka diajak oleh ayahnya masuk ke hutan. Si Wuragil waspada. Tiap satu langkah ia menjatuhkan jagung sebutir. Celaka baginya, karena jagung yang dijatuhkan habis dimakan burung merpati.
Sampai di tengah hutan, mereka disuruh berhenti, bapaknya akan mencari kayu, katanya. Setelah jauh, Wuragil mengajak kakak-kakaknya pulang. Tapi mereka kehilangan jalan, karena jagung-jagung yang dijatuhkan telah habis dimakan burung merpati. Mereka berjalan tanpa arah tujuan.
Setelah setengah harian mereka berjalan, dari jauh dilihatnya asap mengepul. Asap itu lalu dicarinya. Ternyata, asap tadi keluar dari sebuah rumah. Hati mereka sangat gembira, bertemu dengan manusia. Pintu diketoknya, mereka diterima oleh seorang nenek-nenek. Nenek tersebut sangat ramah, mereka diberi makan dan minum.
Siapakah nenek itu. Ia seorang raseksi. Rumah itu adalah rumah raksasa dan isterinya si raseksi tadi. Raksasanya sedang pergi mencari mangsa. Si raksasa mempunyai keistimewaan, yaitu jalannya cepat sekali, berkat sepatu wasiat yang dimiliki.
Raksasa tersebut juga mempunyai anak sebanyak tujuh orang, yang besarnya sebaya dengan si Wuragil dengan kakak-kakaknya.
Malam hari raksasa baru pulang. Hasil buruannya sangat banyak. Setelah masuk ke dalam rumah. Ia mencium bau manusia. Ia bertanya kepada isterinya : “Nek, saya mencium bau manusia. Apakah kamu menyimpan manusia ?” Isterinya menjawab : “Betul, tadi ada anak sebanyak tujuh orang datang kemari. Mereka telah tidur, sekamar dengan anak kita.”
“Saya minta, nek” kata raksasa. “Baiklah, tapi nanti malam saja, sekira anak-anak sudah tertidur pulas. Dan harus ingat. Mereka yang berselimut kulit harimau, adalah anak kita. Mereka yang berselimut kulit domba, anak itulah yang kau makan. Jangan sampai keliru !”
Pembicaraan mereka terdengar oleh si Wuragil. Ketika keadaan telah sepi, ia bangun. Diambillah selimut anak raksasa itu, diselimutkan ke tubuh kakak-kakaknya, ia sendiri mengambil sebuah. Anak-anak raksasa diberinya selimut kulit domba.
Tengah malam, raksasa masuk ke dalam kamar mereka. Dirabanya anak-anak yang sedang tidur. Setelah meraba anak yang berselimut kulit domba, dimakannya satu-satu, sampai habis tujuh anak. Setelah dimakan, ia pergi tidur. Karena kenyangnya ia tidur pulas.
Pagi hari, selagi fajar menyingsing, Si Wuragil bangun. Kakak-kakaknya dibangunkan. Dengan berendap-endap ia mencari sepatu wasiat milik raksasa. Setelah ketemu, diambil dan dipakainya. Kakak-kakaknya digandeng, dibawa lari. Larinya begitu cepat, laksana terbang.
Raksasa terbangun oleh suara berisik itu. Pergilah ke kamar anak-anaknya. Apa yang dilihat ? Anak-anaknya tinggal tulang-tulangnya. Ia merasa tertipu, yang dimakan anaknya sendiri. Pergilah ia masuk kembali ke kamarnya, akan mengambil sepatu wasiatnya, untuk memburu ke tujuh anak yang lari tadi. Ia terperanjat, karena sepatunya tidak ada. Raksasa menggertak gigi, karena marahnya tapi tak mampu berbuat apa-apa.
Si Wuragil dengan menggandeng kakak-kakaknya terus berlari. Akhirnya sampai pada suatu kerajaan. Di kerajaan itu sedang diadakan sayembara. Barang siapa yang larinya cepat tak ada yang mengalahkan, akan diambil menantu oleh raja, dan kelak akan menjadi raja menggantikan kedudukan raja.
Si Wuragil ikut dalam sayembara itu. Yang menjadi taruhan, bilamana ia kalah ia menyediakan kepalanya untuk dipenggal. Sayembara dimulai, Gegap gempita, sorak sorai para penonton yang menyaksikan sayembara itu. Berkat sepatu wasiatnya, ia tidak terkalahkan. Lalu diputuskan, Wuragil yang menang. Wuragil diangkat menjadi menantu raja. Dan karena raja telah tua, ia diangkat menjadi raja pula.
Setelah Wuragil menjadi raja, kakak-kakaknya diangkat menjadi punggawa kerajaan. Hidup mereka menjadi senang.
Pada suatu hari, raja yaitu Si Wuragil ingat kepada orang tuanya, yang di tepi hutan. Disuruhnya punggawa, untuk menjemput bapak dan emaknya.
Orang tua itu sangat takut, karena dipanggil oleh raja. Dengan badan gemetaran ia berangkat ke istana, diiringkan oleh punggawa kerajaan. Setelah sampai, ia menghadap raja dengan menyembah-nyembah.
Raja bertanya : “Bapak dan emak, saya akan bertanya, apakah bapak punya anak ?”
Orang tua itu makin ketakutan. Ia merasa berdosa telah membuang anak-anaknya. Dengan menyembah, orang tua itu berkata : “Betul Gusti. Hamba punya anak tujuh. Tapi karena hamba tidak mampu merawat, anak itu hamba buang di tengah hutan. Hidup matinya, hamba tidak tahu lagi.”
“Apakah kamu masih kenal dengan anak-anakmu, jika umpamanya berjumpa ?” tanya raja.
“Si Wuragil, hamba kenal betul Gusti. Pada kepalanya ada belang, karena dipukul dengan centong oleh emaknya.” jawab bapak Si Wuragil.
“Coba lihatlah kepalaku !” perintah raja.
Dengan menyembah-nyembah, orang tua itu meneliti kepala raja. Ternyata, di kepala raja, ada belangnya. Sama dengan belang Si Wuragil. Tapi mereka takut akan mengaku, bahwa raja itu adalah anaknya.
Mereka bertangis-tangisan dan berpeluk-pelukan karena gembiranya. Mulai hari itu, kedua orang tua tersebut tinggal di istana. Hidup mereka senang dan sejahtera. *TAMAT
Sumber : Soerjo Soesanto
TJERITA RAKJAT III
Senin, 19 April 2010
Langganan:
Postingan (Atom)